Cerita Tersesat Di Jalan Kayau



 Lebih dari dua pekan kabar angin tentang Kayau menggedor psikologis khalayak di Kalimantan Selatan dan Tengah. Kabar angin yang bermula dari layanan pesan pendek di telepon genggam menggunakan terus meluapnya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

 Dan pemerintah yang bergeming dengan penderitaan rakyatnya, sebagai cantelan (news peg). Pesan pendek itu menyatakan untuk menghentikan luapan lumpur Lapindo diperlukan sekian ribu kepala anak-anak sebagai tumbal.

 Di era informasi yang kian modern yang menyebabkan jarak, waktu, dan ruang menyempit, pesan pendek itu cepat meluas. Sayangnya sebagian khalayak percaya dengan kabar angin itu. Target teroris (penyebar isu) membuat kekacauan psikologis dan tumbuhnya sikap saling curiga dalam masyarakat itu kian tercapai ketika media massa memberi ruang bagi kabar angin soal Kayau itu.

 Media massa –terutama lokal—rupanya masih menggenggam erat kredo lama bad news is good news (berita buruk adalah berita baik).Kredo ini telah menjerumuskan media menjadi sekadar institusi kapitalis dan meminggirkan peran dan tugas media untuk turut mencerdaskan khalayak melalui pemberitaan yang tak hanya konstruktif, tetapi juga cerdas. Jika mau jujur, hanya sebagian media yang memberikan semacam “catatan kaki” terhadap teror bertajuk Kayau ini.

 Teror berselimut Kayau itu hampir saja menjadi kebenaran yang diyakini ketika peristiwa pembunuhan seorang gadis cilik di Kapuas, Kalimantan Tengah, terjadi. Kepala sang gadis dipenggal pembunuhnya.

 Lalu media dan khalayak mengaitkan pembunuhan itu sebagai bentuk aksi Kayau. Setelah sang pembunuh diketahui barulah muncul fakta bahwa pembunuhan gadis cilik tanpa kepala itu adalah peristiwa kriminal biasa. Sang pembunuh memenggal kepala korbannya untuk menghilangkan jejak.

 Terkuak dan ditangkapnya pelaku pembunuhan yang semula dikira sebagai Kayau bisa jadi akan mengurangi ketegangan psikologis khalayak. Tetapi dari teror yang berlangsung lebih dari dua pekan ini terlihat dengan sangat jelas betapa khalayak, media, dan pemegang otoritas kekuasaan masih “tersesat” dalam memahami Kayau.

Back mind banyak pihak masih berlatar masa silam, ketika Kayau menjadi salah satu tradisi dalam sebagian besar suku Dayak di Kalimantan, dan menjadi salah satu cara untuk mendiskreditkan, mengucilkan, dan memberi stigma buruk terhadap orang Dayak sebagai bangsa yang barbarian, terbelakang, tidak berpendidikan, tidak berperikemanusiaan, dan menggunakan kepala manusia yang dipenggal sebagai salah satu simbol keberanian dan keperkasaan.

 Tak ada yang salah dengan back mind semacam itu. “Ketersesatan” memahami dan menyikapi Kayau menjadi salah satu buah keberhasilan kampanye buruk penguasa kolonial terhadap orang Dayak. “Ketersesatan” semakin jauh terjadi ketika bekal untuk memahami Kayau lompong.

 Apalagi selain merupakan fakta dan menjadi tradisi orang Dayak –juga Dayak Ngaju di sebagian besar Kalimantan Tengah-- di masa silam untuk menyelesaikan konflik antar sesama, Kayau juga dibumbui mitos dan legenda.

 Penguasa kolonial dan turis –juga khalayak—sering menggunakan ketidaktahuan dan kesengajaan— untuk berkisah dan melebih-lebihkan kenyataan yang ada agar orang mengimajinasikan orang Dayak sebagai kaum primitif.

 Kayau di tangan mereka dibumbui dengan cerita-cerita lisan yang menggambarkan sebagai kegiatan perorangan yang dengan barbarian memenggal kepala orang. Padahal selain sebuah simbol adat, Kayau juga menjadi medium perang psikologis, pertahanan, dan reaksi terhadap sesuatu yang sudah berlangsung kelewat batas.

 Prof Andrew P Vayda dalam bukunya "War in Ecological Perspective: Persistence, Change, and Adaptive Processes in Three Oceanian Societies" (1976) mengungkapkan bagaimana upaya propaganda menjadi alat pertahanan komunitas maupun tribal nation setempat untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah berlangsung dan terpelihara sekian lama.

 Pertahanan psikologis semacam itu cukup efektif menghambat gerak kaum penjajah yang ingin menguasai dan menjarah hal-hal berharga milik orang Dayak. Dengan pertahanan itu harga diri Dayak menjadi relatif terjaga. Dalam hal ini tesis Andrew P Vayda menunjukkan kebenarannya.



Halaman : 1 2 3
Baca Juga

0 Response to "Cerita Tersesat Di Jalan Kayau"

Posting Komentar